Makalah
Fiqh Riba dan Gharar
“Pengaruh
Gharar Pada Transaksi Non Komersial”
Disusun oleh:
Fitri
Yulia Afandi
Mahda Kurnia Rahma
Raissa Nur Latifa
MPS 13 D
Program Studi Perbankan Syariah
STEI SEBI
2015/2016
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
wr. Wb
Puji syukur senantiasa kami panjatkan
kehadirat allah swt yang telah memberikan segala limpahan rahmat, bimbingan dan
petunjuk serta hidayah-nya, sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah . Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas fiqh
riba dan gharar.
kami mohon maaf atas kesalahan serta kekhilafan yang kami perbuat baik sengaja
maupun tidak sengaja dan kami mengharapkan kritik dan saran demi
menyempurnakan makalah kami agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal
mungkin.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini tidak mungkin
terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari bapak selaku dosen fiqh riba dan gharar serta semua
pihak yang membantu.
Akhir
kata kami mengucapkan terimakasih dan berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi semua yang membacanya. Semoga Allah swt memberikan petunjuk
serta Rahmat-Nya kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum
wr. Wb
Depok, 27 Desember 2015
Hormat Kami
Penulis
Bab
I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang
menjadi tujuan adalah mendapatkan keuntungan materi semata. Parameter agama
dikesampingkan, yang menjadi ukuran adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya.
Ini merupakan ciri khas peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak
mengherankan bila dalam praktek bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba
bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi supply and demand serta
berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi hal yang wajar.
Salah satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi
lazim dilakukan di bisnis kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty).
Namun
kali ini penulis akan membahas gharar pada transaksi non komersil dimana aspek
yang menjadi focus utama adalah transaksi yang berbeda dengan jual beli pada
umumnya, transaksi yang dimaksut adalah transaksi yang mengandung unsur
kebaikan dan tolong menolong di dalamnya. Makalah ini ditulis untuk menjelaskan pengaruh
gharor pada transaksi non komersial.
Sebagai salah
satu bentuk pemenuhan tugas pada mata kuliah fiqh riba dan gharar dan juga
sebagai sebuah upaya
edukasi kepada pembaca tentang praktek transaksi islami yang harus menghindari perkara-perkara yang
dilarang dalam Islam.
2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu:
·
Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh
dosen mata kuliah “fiqh riba dan gharar”
·
Untuk mengetahui serta memahami pengaruh
gharar terhadap transaksi non komersial.
3.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari penulisan makalah ini yaitu:
Sebutkan
serta jelaskan pengaruh gharar terhadap transaksi non komersial?
Bab
II
Pembahasan
1.
Preview
Secara etimologis, merupakan isim mashdar dari (غَرَّر )[1]
Makna kata gharar berkisar pada risiko
(khathar), ketidaktahuan (jahl), kekurangan
(nuqsan) dan/atau sesuatu yang mudah rusak (ta`arrudh lil halakah).[2]
Adapun, secara terminologis terdapat sejumlah definisi gharar dari para
ulama:
الغرر: هو المجهول العاقبة.
Ibn Taimiyyah berpendapat: “Gharar adalah konsekuensi
yang tidak diketahui (the unknown consequences).”[3]
Dalil Yang Melarang Gharar
عن أبي هريرة رضي الله عنه: نهى رسول الله صلى الله عليه
وسلم عن بيع الغرر
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasul SAW
telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu
kecil) dan jual beli barang secara gharar.” (HR. Muslim III/1153 dan 1513,
At-Tirmidzi II/349 dan no: 1248, , Ibnu Majah II/739 dan no: 2194 , Nasa’i
VII/262, Lihat juga ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, serta Shahih: Muktashar
Muslim no: 939, Irwa’ul Ghalil no: 1294,).
Jual Beli secara Gharar (yang tidak jelas sifatnya)
adalah segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung jahalah (unsur
ketidak jelasan), atau di dalamnya terdapat unsur judi (maysir).
2. Transaksi
Komersil Non Jual Beli (عقود
المعاوضات المالية)
Kaidah umum dalam
fiqih: Gharar berlaku pada setiap transaksi komersil dengan mengqiyaskannya
pada transaksi jual beli yang ada nash pelarangannya. Hanya mazhab dzhahiriyyah
yang tidak sepakat dengan kaidah tersebut dengan membatasi gharar hanya pada transaksi
jual beli, karena mereka tidak memakai qiyas dalam istinbath hukum. Contoh
transaksi komersil non jual beli adalah ijarah. Dalam transaksi
Ijarah harus ada kepastian ujrah dan manfaat, karena ketidakpastian
keduanya menyebabkan terjadinya gharar. Sebagaimana harus ada kepastian
harga dan barang dalam jual beli.
Imam Malik:
الأجير لا يستأجر إلا بشيء مسمى ولا
تجوز الإجارة إلا بذلك وإنما الإجارة بيع من البيوع إنما يشتري منه عمله ولا يصلح
ذلك إذا دخله الغرر لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر
Pekerja
upahan tidak dikontrak kecuali dengan upah yang jelas dan ijarah tidak sah
kecuali jika itu jelas. Sesungguhnya ijarah itu sama dengan jual beli dimana
pembeli membeli darinya sebuah pekerjaan, maka tidak boleh terjadi gharar
padanya karena Rasulullah SAW melarang jual beli gharar.
Seperti
dalam jual beli, dalam ijarah juga harus jelas waktu selesainya kerja, juga
dalam hal risk settlement, ijarah tidak boleh mengandung risiko
penggunaan barang sewaan, seperti sewa kuda yang tidak jinak untuk dikendarai.
Selain itu harus jelas pula barang yang disewakan seperti dalam jual beli.
3.
Transaksi non komersil (عقود التبرعات)
·
Kaidah fiqih malikiyyah:
أن
جميع عقود التبرعات لا يؤثر الغرر في صحتها
Bahwa semua transaksi non
komersial, gharar tidak berpengaruh pada keabsahannya.
·
Ibn Taymiyah: “gharar hanya berlaku pada
transaksi komersil, tidak berlaku pada transaksi non komersil”.
·
Imam Syafi’i: “Gharar berlaku pada semua
transaksi, baik komersil maupun non komersil.” (al-Qarafi). Syafi’I melarang
ketidakjelasan (al-jahalah) dalam hibah, sedekah, pembebasan hutang dan
transaksi kebajikan lainnya. (al-Qarafi). Syafi’I menqiyaskan gharar pada jual
beli dengan semua transaksi baik komersil maupun kebajikan (Ibn Taymiyah)
Gharar
Terjadi Selain Pada Akad Komersil (akad mu’awadhat) (أن يكون في غير عقود المعاوضات).
بأن الغرر منع في عقود
المعاوضات، وما فيه شائبة معاوضة؛ لأن المال في هذه العقود مقصود تحصيله أو مشروط،
فمنع الشارع الحكيم الغرر فيهما، صوناً للمال عن الضياع في أحد العوضين أو كليهما.
أما عقود الإحسان والتبرعات فمقصودها بذل المال وإهلاكه في البر، فلذلك لم يأت ما
يدل على منع الغرر فيها، وليست كعقود المعاوضات، فتلحق بها.
Artinya: ”Gharar tidak diperbolehkan
dalam akad – akad komersial (al-muawadhat),[4]
dan akad yang mengandung unsur komersial, karena harta dalam akad-akad ini
ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau akad – akad yang bersyarat.[5]
Asy-Syari’ (Allah SWT) melarang gharar dalam keduanya, dalam rangkan menjaga
harta dari kehilangan pada salah satu dari kompensasi atau keduanya (pent-
harga/uang dan obyek barang). Adapun akad non komersial dan akad sosial,
bertujuan untuk memberikan harta dan menghabiskannya untuk tujuan kebaikan.
Maka tidak ada dalil yang melarang gharar dalam akad non komersial dan akad
sosial. Berbeda dengan akad – akad komersial , maka gharar tidak diperkenankan.
Namun
demikian, terdapat sejumlah ulama seperti Imam Nawawi yang berpendapat bahwa
gharar yang terjadi dalam akad komersial dapat ditoleransi,[6]
seperti halnya jual beli yang terdapat unsur gharar didalamnya, tatkala
transaksi tersebut memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
·
terdapat
kebutuhan yang mengharuskan melakukan gharar (إن دعت
الحاجة إلى ارتكاب الغرر),
·
tertutup
kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali (لا يمكن الاحتراز عنه إلا بمشقة),
·
gharar
yang terjadi ringan/sepele (وكان الغرر حقيرا),
أجمعوا
على صحة بيع الجبة المحشوة وإن لم ير حشوها ولو بيع حشوها بانفراده لم يجز
Artinya: ”kaum muslim telah
bersepakat tentang kebolehan melakukan jual beli jubah/jas yang di dalamnya
terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara
terpisah, maka justru tidak diperbolehkan. Sebagian ulama memberi
toleransi atas gharar yang terjadi dalam beberapa akad komersial, karena
memenuhi kriteria seperti diatas:
وأجمعوا
على جواز إجارة الدار والدابة ونحو ذلك شهرا مع أن الشهر قد يكون ثلاثين يوما وقد
يكون تسعة وعشرين ،
Artinya: ”kaum muslim telah
bersepakat tentang kebolehan melakukan menyewa rumah atau hewan dan yang
semisal selama 1 bulan, walau 1 bulan dapat berarti 30 hari atau 29 hari”.
وأجمعوا
على جواز دخول الحمام بالأجرة مع اختلاف الناس في
استعمالهم الماء وفي قدر مكثهم ،
Artinya: ”kaum muslim telah
bersepakat tentang kebolehan masuk ke dalam kamar mandi (umum) dengan upah
(ujrah), walau ada perbedaan dalam penggunaan air dan berapa lama waktu didalam
kamar mandi tersebut”.
وأجمعوا
على جواز الشرب من السقاء بالعوض مع جهالة قدر المشروب واختلاف عادة الشاربين وعكس
هذا ،
Artinya: ”kaum muslim telah
bersepakat tentang kebolehan minum dari tempat air minum dengan upah, walau
tidak diketahui banyaknya air yang diminum dan perbedaan kebiasaan para peminim
dan sebaliknya.”
Akad
tabarru’, menyebutnya aqdun tabarrui’yyun - limashlahati ahadit torofain -
gratuitous contract) adalah akad derma/sumbangan atau kebajikan, untuk
kepentingan salah satu pihak. Akad Tabarru ini juga suatu transaksi yang tidak
berorientasi komersil atau not profit oriented (transaksi nirlaba).
Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersil
akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu
‘alal birri wattaqwa). Dalam akad ini pihak yang berbuat kebaikan (bank)
tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian, pihak yang berbuat
kebaikan (bank) dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover
the cost) kepada nasabah (counter-part). Tapi tidak bolehkan
sedikitpun untuk mengambil laba dari akad tabarru ini. Yang termasuk dalam akad
tabarru dalam Bank Syariah di antaranya: qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah,
wadi’ah hibah, wakaf, shadaqah, zakat, dan hadiah.
4.
Pengaruh
Gharar Pada Hibah
·
Malikiyah: gharar tidak berpengaruh pada
hibah
·
Ibn Rusyd: tidak ada perbedaan dalam
mazhab maliki dalam pembolehan hibah yang belum jelas (majhul) dan belum ada
(ma’dum)
·
Ibn Jauzi: hibah diperbolehkan pada
barang-barang yang tidak boleh dijual (yang mengandung gharar) seperti buah
yang belum nampak, barang yang dighashab.
·
Imam Syafi’i: gharar berpengaruh dalam
hibah, seperti pengaruhnya pada jual beli.
·
Kaidah Syafi’i: يشترط في الموهوب كما يشترط في المبيع (yang disyaratkan dalam barang yang dijual disyaratkan pula
pada barang yang dihibahkan).
·
Al-Syirazi: sesuatu yang tidak boleh
dijual karena tidak jelas, atau barang yang mengandung risiko penyerahan, atau
barang yang kepemilikannya belum sempurna tidak boleh dihibahkan, karena hibah
adalah transaksi pemindahan kepemilikan harta seperti jual beli.
·
An-Nawawi: sesuatu yang boleh diperjual
belikan boleh pula dihibahkan, sesuatu yang tidak boleh diperjual belikan
seperti majhul (tidak jelas), hilang dan dighashab tidak pula boleh
untuk dihibahkan.
·
Pengecualian dalam mazhab Syafi’i:
o
Hibah buah yang belum nampak matang
dibolehkan
·
Mazhab Hanafi dan Hanbali memiliki
pandangan yang hampir sama dengan syafi’I, hanya saja pengaruh gharar dalam
transaksi non komersil lebih ringan dibanding dengan jual beli
5.
Pengaruh
Gharar Pada Wasiat
·
Semua foqaha: gharar dalam wasiat lebih
ditolerir, dibandingkan dalam jual beli.
·
Hanabilah: berwasiat dengan yang belum
jelas (majhul) dibolehkan. Misalnya pewasiat mengatakan bahwa ia berwasiat
untuk memberikan hartanya kepada fulan/yayasan fulan dan tidak menyebut
kuantitasnya, maka wasiat itu sah. Dan ahli waris berhak memberikan harta
wasiat tersebut berapa pun yang mereka kehendaki. Demikian halnya dengan barang
yang belum ada, seperti berwasiat pada buah yang belum muncul. Serta pada
barang yang mengandung risiko penyerahan (risk settlement)
·
Mazhab malikiyah terlihat lebih
konsisten dalam memandang pengaruh gharar pada transaksi non komersil
(kebajikan)
Kesimpulan
Ulama
sepakat melarang gharar pada transaksi jual beli, karena masalah ini telah ada
nash yang jelas tentang pelarangannya. Ada dua masalah selain jual beli yang
dimungkin terjadi gharar, yaitu:
•
Transaksi komersil
non jual beli (عقود
المعاوضات المالية),
seperti ijarah
Kaidah umum dalam fiqih: Gharar berlaku pada setiap transaksi komersil
dengan mengqiyaskannya pada transaksi jual beli yang ada nash pelarangannya. Hanya
mazhab dzhahiriyyah yang tidak sepakat dengan kaidah tersebut dengan membatasi
gharar hanya pada transaksi jual beli, karena mereka tidak memakai qiyas dalam
istinbath hukum. Contoh transaksi komersil non jual beli adalah ijarah
•
Transaksi non komersil (عقود
التبرعات) seperti hibah,
wasiat, warisan, sedekah, pembebasan hutang dan lainnya. Mayoritas ulamah
memperbolehkan transaksi non komersil yang mengandung unsur gharar, namun ada
pula beberapa ulamah yang melarang nya seperti Imam Syafi’i: “Gharar berlaku
pada semua transaksi, baik komersil maupun non komersil.”
Daftar
Pustaka
[2] Vide: Mu’jam Maqayis Fil Lughah, Bab (غرّ) ; Lisanul Arab, Bab (غرر), jilid 5/hal. 13; Al-Misbah Al-Munir, Bab (غ ر ر) hal. 230; Ash-Shihah, Bab (غرر) Jilid 2/hal.768.
[4] Vide: Bab Ta’min –
Abhats Haiah Kibar Al-Ulama, tahun 2001, http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?
[5] Vide: Al-Furuq Lil
Qarafii, jilid 1/hal. 150; Adz-Dzkirah Lil Qarafii, jilid 6/hal. 243-244 dan
jilid 7/hal. 30; Majmu’ Al-Fatawaa, jilid 31/hal. 270-271
Tidak ada komentar:
Posting Komentar